Terapi kognitif-perilaku (CBT) adalah pendekatan konseling yang berorientasi pada hasil (outcome-oriented). Tujuannya bukan hanya menghilangkan gejala, tetapi juga membekali konseli dengan keterampilan untuk mengubah cara berpikir dan perilaku agar dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Distorsi kognitif sering kali memicu tekanan emosional, cemas, atau pola perilaku tidak adaptif. Oleh karena itu, tujuan utama CBT adalah membangun pola pikir yang lebih adaptif yang lebih sehat dan realistis, yang kemudian termanifestasi dalam perilaku adaptif.
1. Mengidentifikasi Pikiran Maladaptif
Langkah awal yang paling fundamental dalam konseling dengan pendekatan CBT adalah membantu konseli mengenali pikiran negatif dan tidak akurat yang selama ini memengaruhi mereka. Pikiran-pikiran ini dikenal sebagai pikiran otomatis (automatic thoughts) atau diatorsi kognitif, yaitu “kesalahan” logika yang terjadi secara spontan.
Tujuannya adalah agar konseli mampu mengenali saat-saat pikiran ini muncul dan memahami bagaimana pikiran tersebut memicu respons emosional yang tidak menyenangkan. Contoh pikiran otomatis yang tidak rasional (disfungsional):
- “Kalau saya gagal, berarti saya gagal selamanya.”
- “Orang lain pasti menganggap saya bodoh karena kesalahan yang tidak menyenangkan.”
Untuk mencapai tujuan ini, konselor dapat membuat asesmen melalui:
- Wawancara (Interview): konselor mengajukan pertanyaan terperinci tentang situasi pemicu, emosi, dan pikiran konseli untuk mendapatkan gambaran yang jelas.
- Pematauan diri (Self-monitoring): konseli diminta untuk mencatat pikiran, emosi, dan perilaku mereka di luar sesi, misalnya melalui jurnal atau formulir seperti Dysfunctional Thought Record (DTR). Metode ini membantu konseli mengungkap pikiran otomatis secara real-time.
- Kuisioner: konselor dapat mengunakan kuisioner standar, seperti Beck Depression Inventory (BDI), untuk mengukur tingkat kepatahan gejala dan melacak kemajuan secara objektif.
2. Menantang dan Mengubah Pikiran Disfungsional
Setelah pola pikir negatif teridentifikasi, tujuan selanjutnya adalah menantang dan merevisinya. Ini bukan tentang memaksakan positive thinking (pikiran positif), melainkan menggantinya dengan pemikiran yang lebih realistis, logis, dan adaptif. Proses ini juga termasuk memodifikasi skema kognitif dan keyakinan inti konseli.
Konselor menggunakan berbagai teknik untuk membantu konseli mempertanyakan dan mengevaluasi pikiran mereka, misalnya:
- Socratic Dialogue (Dialog Sokrates): konselor mengajukan pertanyaan terbuka untuk membantu konseli menyadari bahwa ada cara lain melihat suatu situasi.
- Three-Qustion Technique (Teknik Tiga Pertanyaan): “Apa buktinya bahwa pikiran ini benar?”; “Apakah penafsiran lain terhadap situasi ini?”; “Jika memang benar, apa dampaknya bagi hidup saya?”
- Labeling Distortions (Memberi Label Distorsi): konselor membantu konseli mengenali jenis distorsi kognitif, seperti overgeneralization atau catastrophizing.
Melalui proses ini, pikiran yang tidak rasional digantikan dengan cara berpikir yang lebih realistis, rasional, dan seimbang. Misalnya, pikiran “Saya selalu gagal” bisa diubah menjadi “Memang saya pernah gagal, tetapi saya juga pernah berhasil. Saya masih punya kesempatan belajar.”
3. Mengubah Perilaku yang Dipengaruhi Pikiran Negatif
CBT mengakui bahwa pikiran, emosi, dan perilaku saling terhubung dalam sebuah siklus. Oleh karena itu, tujuan terakhir adalah mengatasi perilaku maladaptif yang dipicu oleh pola pikir yang terdistorsi, konselor dan konseli akan bekerja sama untuk mengubah kebiasaan yang tidak membantu menjadi perilaku yang lebih sehat dan sesuai dengan tujuan hidup konseli.
Untuk itu, konselor biasanya memberikan tugas-tugas rumah sederhana (homework assignments) yang relevan dengan kehidupan konseli, misalnya:
- Menuliskan pengalaman positif setiap hari untuk melawan pikiran “Hidup saya selalu buruk.”
- Melakukan activity scheduling dengan merencanakan kegiatan mengyenangkan untuk mengurangi kebiasaan menghindar.
- Behavioral rehearsal, yaitu berlatih perilaku tertentu seperti mengungkapkan pendapat atau menolak permintaan yang tidak sesuai sebelum menerapkan di situasi nyata.
Perubahan perilaku ini membantu konseli mendapatkan pengalaman baru yang menguatkan keyakinan rasional yang sudah mulai terbentuk. Dengan demikian, perubahan tidak hanya terjadi di level pikiran, tetapi juga pada kebiasaan sehari-hari dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Singkatnya, tujuan CBT tidak hanya sekadar “berpikir positif,” tetapi lebih dalam, yaitu mengenali pikiran yang salah, menantangnya dengan cara rasional, dan menggantinya dengan pola pikir yang sehat, lalu menerapkannya dalam tindakan nyata. Dengan kombinasi ini, konseli dapat membangun pola pikir dan perilaku yang lebih adaptif, sehingga mereka lebih mampu menghadapi masalah dan mencapai kehidupan yang lebih seimbang.
Materi selanjutnya klik di sini
Referensi:
Beck, J. S. (2021). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (3rd ed.). The Guilford Press.
Corey, G. (2017). Theory and practice of counseling and psychotherapy (10th ed.). Cengage Learning.
Sharf, R. S. (2012). Theories of psychotherapy and counseling: Concepts and cases (5th ed.). Cengage Learning.