9. Teknik-Teknik Kognitif dalam Terapi CBT
Teori Dasar CBT

9. Teknik-Teknik Kognitif dalam Terapi CBT

25 Sep 2025


Cover

Terapi kognitif-perilaku (CBT) dalam konteks konseling memanfaatkan serangkaian teknik untuk memfasilitasi pencapaian tujuan konseling. Fokus utama CBT adalah menantang dan memodifikasi pikiran otomatis yang negatif, asumsi maladaptif, serta skema kognitif yang bersifat disfungsional. Konselor tidak serta-merta langsung menafsirkan pikiran konseli, melainkan mendorong konseli untuk menguji validitas dan logisitas pikiran tersebut, sering kali melalui proses logis atau eksperimen perilaku terstruktur. 

Berikut adalah beberapa teknik kognitif yang umum digunakan dalam kerangka CBT:

1. Wawancara Socrates (Socratic Questioning)

Wawancara socrates adalah fondasi utama CBT. Teknik ini melibatkan pertanyaan yang terstruktur dan terarah (bukan interogasi) untuk membantu konseli menguji validitas, utilitas, dan logisitas dari pikiran otomatis mereka. Tujuan akhirnya adalah agar konseli menjadi "peneliti pribadinya" (personal scientist) yang mampu menantang kognisi mereka.


2. Understanding Idiosyncratic meaning (Memahami Makna Idiosinkratik)

Kata-kata atau frasa tertentu dapat memiliki arti yang sangat spesifik dan berbeda bagi setiap individu, tergantung pada pikiran otomatis atau skema kognitif mereka. Konselor perlu menggali arti sebenarnya yang dimaksud konseli untuk mengidentifikasi asumsi maladaptif yang mendasarinya.

Contoh Dialog: 

  • Konseli: “Saya merasa tidak pantas memiliki teman.”
  • Konselor: “Anda mengatakan bahwa 'tidak pantas memiliki teman.' Dapatkah Anda mendefinisikan secara spesifik, apa makna 'teman' bagi Anda?”
  • Konseli: “Seorang teman adalah seseorang yang selalu mengajak saya dalam setiap kegiatan atau jika mau pergi.”
  • Konselor: “Dari yang Anda definisikan tersebut, apakah artinya 'selalu mengajak dalam semua kegiatannya' adalah standar mutlak dalam memaknai pertemanan?"
  • Konseli: “Mungkin dalam kegiatan yang bisa kami lakukan bersama-sama saja agar saling membantu.”
  • Konselor: “Kalau begitu, mungkin bisa Anda jelaskan bagaimana yang bisa teman lalukan bersama Anda, karena saya masih belum menangkap bagaimana Anda memaknai diri sebagai orang yang tidak pantas memiliki teman.”

3. Challenging Absolutes (Menantang Pemikiran Absolut)

Konseli sering memakai kata-kata ekstrem seperti, selalu, tidak pernah, semua orang, atau tidak ada yang… Teknik ini menargetkan distorsi kognitif Generalisasi Berlebihan (Overgeneraliztion) dengan meminta konseli mencari pengecualian terhadap pernyataan absolut teresbut.

Contoh Dialog: 

  • Konseli: “Semua yang saya lalukan selalu salah menurut ayah saya.”
  • Konselor: “Selalu salah? Dalam semua tindakan? Apakah selalu dalam semua hal, mari kita uji hal itu, apakah ada satu hal yang Anda lakukan dalam satu bulan terakhir yang tidak dikomentari atau dikoreksi kesalahan oleh ayah Anda?”
  • Konseli: “Hmm, mungkin ketika saya bangun pagi setelah solat subuh kemudian tidak balik tidur.”
  • Konselor: “Baik. jadi, ada saatnya tindakan Anda dianggap benar, bagaimana jika kita memformulasikan ulang pikiran Anda dari 'semua yang saya lakukan salah' menjadi 'Saya cenderung fokus pada kritik ayah ketika saya tidak memenuhi ekspektasinya'?.”
  • Konseli: “Mungkin memang hanya ketika tidak mengikuti perintahnya saja. Ayah mungkin ingin saya lebih bisa mengatur waktu dengan baik.”

4. Reattribution (Atribusi Ulang)

Seringkali konseli yang mengalami distorsi Personalisasi merasa bertanggung jawab penuh atas suatu kejadian negatif, padahal peristiwa tersebut biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Teknik ini membantu konseli melihat bahwa sebuah peristiwa bisa dipengaruhi banyak faktor, bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri. 

Contoh Dialog:

  • Konseli: “Seandainya saya bekerja lebih keras lagi, pasti saya bisa menjadi juara lomba itu. Saya merasa bersalah pada guru saya karena tidak bisa meraih piala lomba.”
  • Konselor: “Saya memahami perasaan bersalah Anda. Mari kita coba analisis, selain peran Anda, apakah ada faktor dari luar diri Anda yang mungkin juga berkontribusi pada kegagalan lomba itu.”

5. Labeling of Distortions (Melebeli Distorsi Kognitif)

Konseli sering terjebak dalam pola pikir keliru (distorsi kognitif) seperti all-or-nothing thinking atau overgeneralization. Dengen melabeli pikiran itu sebagai distorsi kognitif, konseli lebih mudah mengenalinya dan belajar menantangnya.

Misalnya: Konselor berkata, "Ketika Anda berpikir bahwa 'Ibu selalu mengkritik saya,' itu merupakan contoh dari Generalisasi Berelebihan (Overgeneralization). Mari kita cari bukti yang menentang keyakinan ini." 

6. Decatastrophizing (Mengatasi Pikiran Katastropik)

Konseli kadang membayangkan kemungkinan terburuk yang belum tentu terjadi. Teknik ini membantu konseli yang mengalami Katastrofis (Catastrophizing) untuk membayangkan hasil terburuk yang belum tentu terjadi dengan mengeksplorasi apa yang paling mungkin terjadi, dan jika kemungkinan terburuk terjadi, apa langah praktis yang dapat diambil. 

Contoh Dialog:

  • Konseli: “Kalau saya tidak lolos ujian sertifikasi ini, hidup saya hancur dan karier saya juga sia-sia!”
  • Konselor: “Saya memahami perasaan Anda. Tampaknya kita perlu mengukur besarnya anaman ini. Jika Anda tidak lolos, mari kita identifikasi: Apa yang sebenarnya akan terjadi secara realitas dalam 24 jam setelah dinyatakan tidak lolos?”
  • Konseli: “Mungkin saya akan merasa sangat kecewa. Tapi, saya tidak dipecat saat itu juga sih, dan mungkin saya akan mendaftar ulang untuk ujian berikutnya dalam tiga bulan.” (Konseli mulai menyadari bahwa konsekuensi tidak seburuk yang dibayangkan)
  • Konselor: "Tampaknya konsekuensinya bukan 'kehancuran' ya. Jika Anda mendaftar ulang, apa yang bisa Anda lakukan dan berbeda dari kali ini?"

7. Challenging All-or-nothing Thinking (Menantang Pikiran Tidak Semua atau Tidak Sama Sekali)

Konseli cenderung melihat segala sesuatu hanya dalam dua pilihan eksterm (hitam atau putih, sukses atau gagal), padahal kenyataanya bersifat kontinu. Konselor membantu konseli mengubah pemikiran biner menjadi sebuah kontinum kognitif (cognitive continuum) skala. 

Contoh: Nilai kuliah tidak hanya sekadar “mendapat predikat cumlaude atau gagal total.” Konselor bisa meminta konseli menilai capaian diri pada skala 0 hingga 100, misalnya, seorang konseli merasa 'gagal' setelah mendapat IPK 3.25 diminta menilai bahwa capaian itu berada di sekitar 70-80% pada skala kesuksesan, bukan 0%, sehingga memungkinkan adanya area abu-abu.

8. Listing Advantages and Disadvantages (Membuat Daftar Kelebihan dan Kekurangan)

Konselor meminta konseli menulis keuntungan (advantages) dan kerugian (disadvantages) yang timbul dari memperlihatkan suatu keyakinan, asumsi, atau perilaku yang disfungsional. Teknik ini membantu konseli melihat dampak pikiran mereka secara lebih objektif dan termotivasi untuk berubah.

Contoh: Mahasiswa yang berpikir “Saya harus mendapatkan nilai sempurna pada semua mata kuliah” diminta menulis kelebihan (seperti, termotivasi belajar, mendapat pengakuan) dan kekurangannya (seperti, tekanan psikologis tinggi, mudah stres, dan kurangnya waktu sosial).

9. Cognitive Rehearsal (Latihan Kognitif)

Teknik ini melibatkan konseli membayangkan (imagery) dan mempraktikkan secara mental cara mereka akan menghadapi situasi sulit dengan menggunakan respons yang lebih adaptif, logis, dan sehat, alih-alih merespons dengan pola pikir lama.

Contoh: Konseli yang seorang mahasiswa sedang takut karena membayangkan ujian skripsi secara lisan. Daripada membayangkan uajian gagal, konseli dilatih untuk membayangkan dua skenario: (1) penguji memberi pertanyaan yang sulit, dan konseli meresponsnya dengan tenang dan mencoba yang terbaik (2) penguji menerima jawaban ujiannya dengan baik. Latihan ini, bertujuan mengurangi kecemasan dengan meningkatkan rasa self-efficacy (keyakinan diri) dalam menghadapi realitas.


Selain teknik kognitif, konselor CBT bisa juga memadukan teknik perilaku, seperti latihan relaksasi, pelatihan keterampilan sosial, atau eksperimen perilaku untuk menciptakan perubahan yang menyeluruh pada pikiran, perasaan, dan perilaku konseli. 



Referensi: 

Beck, J. S. (2021). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (3rd ed.). The Guilford Press.

Corey, G. (2017). Theory and practice of counseling and psychotherapy (10th ed.). Cengage Learning.

Sharf, R. S. (2012). Theories of psychotherapy and counseling: Concepts and cases (5th ed.). Cengage Learning.

Tinggalkan Komentar